This is Sparta!!! Apa yang ada
dipikiran anda ketika mendengar kalimat itu? Seorang pria yang bermimpi menjadi
Superman namun sayangnya hanya punya celana dalam dan tak bisa melindungi
kumpulan otot miliknya? Tidak hanya itu, namun sebuah kalimat sederhana dari
para pria dengan perawakan kekar yang bukan hanya mampu menunjukkan semangat
mereka, namun juga sanggup membuat kita sebagai penonton mengangkat tangan dan
berteriak “ahoo, ahoo, ahoo.” Ia tidak megah, namun
300 punya
keunikan yang menjadikannya sebagai sebuah kenangan. Kemasan past,
present, dan future dari
300 ini
tidak punya hal tersebut, 300: Rise of an Empire, it’s about scream, blood, slow
motion, and abs!!! Without dignity. Oh, also British who fight for Greece!!!
Bland. Borefest.
Sepuluh tahun sebelum kejadian di
300, seorang
jenderal perang Athena, Themistocles (Sullivan Stapleton) berupaya untuk
melindungi negerinya dari serangan pertama bangsa Persia. Kesuksesan berhasil
ia raih, namun disisi lain justru ikut pula menjadikannya sebagai sosok yang
dibenci karena telah membunuh King Darius I (Yigal Naor).
Aksi tersebut otomatis melahirkan misi balas dendam dari putra Darius I, Xerxes
(Rodrigo Santoro) yang bertekad untuk memberikan bayaran setimpal pada
Themistocles atas tindakan yang ia lakukan tersebut, dan mendeklarasikan perang
terhadap Yunani.
Namun masalah bagi Themistocles tidak berhenti sampai disitu. Pada saat itu
Kerajaan Persia sedang berada di puncak kejayaannya, bahkan sekutu Yunani telah
menolak untuk bergabung dan memutuskan untuk mundur ketimbang harus merelakan
banyak nyawa menyusul King Leonidas (Gerard Butler) yang kala itu bersama
300 pasukannya
kalah dari Persia.
Tapi ternyata Themistocles punya rencana lain, menggunakan laut sebagai jalur
untuk melakukan serangan, yang celakanya dengan jumlah dan tentara dan
teknologi yang sedikit lebih baik telah berada di kendali seorang wanita
bernama Artemisia (Eva Green).
Apakah pertanyaan dengan inti seperti ini mampir di pikiran anda: “Oh, ada
lanjutannya? Bukannya sudah selesai ya? Kan Leonidas sudah mati.” Nah itu dia,
tujuh tahun yang lalu
300 sudah
ditutup dengan sangat jelas tanpa meninggalkan pertanyaan, lantas apa misi film
ini? To get your money. Simple. Tidak dapat dipungkiri walaupun dangkal
300 punya
style yang masih meninggalkan memori manis di ingatan penontonnya, dan hal
tersebut sayangnya juga terlalu manis untuk ditinggalkan begitu saja oleh para
produser film tersebut, termasuk di dalamnya Zack Snyder yang kini menjabat
sebagai produser.
Masih ada potensi yang dapat dimanfaatkan, so, ambil resiko dan coba bentuk
kembali, tidak peduli jika pada akhirnya ini akan terasa seperti kurang penting.
Bukan hanya kurang penting, namun juga dipaksa. Tidak perlu waktu lama penonton
akan dengan mudah merasakan bagaimana besarnya ambisi untuk menjadikan ini
sebagai pintu pembuka sebuah senjata pengeruk uang yang menjanjikan, masa lalu,
masa kini, dan masa depan, ketiganya coba dikombinasikan kedalam durasi 100
menit-an dengan bantuan narasi yang secara konsisten terus berusaha keras
memaparkan struktur cerita, namun celakanya tidak mampu menjadikan kisah ini
semakin jelas dan tajam.
Dari pondasi saja ia sudah salah, karena kita tahu ini merupakan tipe style
over substance, so at least harus ada bekal yang menarik pada sisi cerita, dan
300: Rise of an Empire tidak mampu memberikan itu. Tidak hanya itu, 300: Rise
of an Empire sebenarnya juga tidak menaruh respect pada penontonnya. Dari segi
teknis ini sama persis dengan apa yang pernah dilakukan oleh
300ditangan
Zack Snyder, tujuh tahun lalu.
Kurang begitu yakin apakah keputusan untuk bermain di formula yang sama persis
itu adalah sebuah tindakan percobaan dengan dua opsi, kembali berhasil atau
gagal, atau justru Noam Murro, Zack Snyder, dan Kurt Johnstad beranggapan bahwa
penonton tidak mengalami perkembangan pada standard yang mereka miliki selama
lebih dari setengah dekade ini.
It’s like mocking with audience, terus bergerak cepat dengan berpindah dari
satu pertempuran ke pertempuran lain tanpa peduli dengan detail kecil yang
penting baik itu pada karakter dan cerita yang tidak berkembang. Dimana anda
dapat merasakan hal tersebut? Lihat saja pada penggunaan slow motion yang
sangat berlebihan. Meskipun tidak dapat dipungkiri dalam skala minor di
beberapa bagian mereka berhasil tampil memikat, namun merupakan kesalahan besar
membangun sebuah segmen yang menuntut tensi dan emosi dengan menggunakan
karakter tak bernyawa.
Hal tersebut yang menjadikan ini terasa hambar, beberapa pengulangan yang ia
hadirkan menjadi monoton dan menjemukan, terutama pada pergeseran speed dari
normal ke slow-mo dan sebaliknya yang dibentuk oleh Noam Murro seperti sesuka
hati tanpa pertimbangan. Jatuhnya ini annoying, dan semakin parah ketika
setelah menghadirkan sikap kurang peduli tadi ia justru dengan penuh percaya
tetap terus berupaya agar dapat tampil kompleks.
Sulit untuk menampik ini, namun ada rasa rindu pada
300 yang
hadir ketika menyaksikan film ini. Dangkal, sederhana, namun ada simpati dan
power dari pria-pria yang memperjuangkan kehormatan mereka dan rela mati demi
negara itu. Film ini sebaliknya, jauh lebih dangkal namun uniknya terus
berupaya agar dapat tampil kompleks, lebih tampak seperti kompilasi momen-momen
membosankan dari serial-tv Spartacus, dengan konsisten terus mengemis atensi
lewat sensasi pada visual yang sayangnya perlahan memberikan rasa jenuh.
Alur yang kacau berisikan karakter yang kosong dengan nyawa yang lemah, ini
semakin rusak ketika ia juga tidak memberikan unsur fun didalamnya, minim humor
yang mungkin saja dapat memberi nafas segar dibalik suguhan monoton yang kerap
kehilangan fokusnya itu.
Divisi akting juga menjadi sumber utama kacaunya film ini. Bukan hanya minim,
beberapa diantara mereka bahkan nihil emosi, dan menyebabkan permasalahan dan
perjuangan yang akan mereka hadapi menjadi kurang memiliki arti yang kuat.
Sullivan Stapleton menjadi tombak utama yang sayangnya sangat tumpul, lebih
sering terlihat kosong dan jauh dari kesan heroik, kekurangan power, tidak
memiliki karisma dan wibawa dari seorang pemimpin.
Yang mengejutkan justru datang dari Eva Green, wanita yang seperti telah
terlahir dengan memiliki daya seduktif sangat besar, dan hal tersebut mampu ia
manfaatkan untuk mendukung perannya sebagai sosok antagonis dengan karakter
yang dingin namun penuh semangat.
Overall, 300: Rise of an Empire adalah film yang tidak memuaskan. Nilai positif
yang dimiliki film ini mungkin hanya terletak pada adegan aksi visual yang
tidak dapat dipungkiri beberapa diantaranya mampu tampil dengan cukup baik,
karena selain itu 300: Rise of an Empire hanya berisikan kekacauan dari perang
yang sejak awal sudah sangat lemah dari cerita dan karakter namun hingga akhir
tidak pernah berhenti mencoba agar dapat terlihat megah dan kompleks dengan
menghadirkan berbagai elemen sebuah film style over substance yang sayangnya
dikemas terlalu overdo.
Sumber,